Friday, April 3, 2015

Mengatasi Kehilangan Seorang Ayah (Part I)



Beberapa tahun yang lalu seperti biasanya aku bertelepon dengan kedua orang tuaku untuk sekedar berbincang dengan mereka.

Ada sesuatu yang agak berbeda hari ini, karena ayahku yang hampir tidak pernah sakit seumur hidupnya itu terkena demam. Ibu membawanya ke rumah sakit dan dokter mengatakan bahwa ini adalah gejala demam berdarah. Harap ayah masuk rumah sakit untuk opname.

Singkat cerita semakin kritis keadaan ayah dan kami memutuskan untuk membawanya berobat ke Penang. Aku dan kakakku terbang menuju medan dan langsung mengantarkan ayah keesokan harinya.

Dokter menyarankan untuk dilakukan MRI Scan, untuk mengetahui detail keadaan tubuh ayah. Perawatan di rumah sakit tersebut sungguh baik sehingga ayahku yang sempat sudah tidak bisa bicara sekarang dapat mengatakan beberapa kalimat pendek seperti bertanya dimana dia saat ini berada.
Harapan muncul ketika kata kata semakin banyak yang bisa dia ucapkan.

Kami tetap berdoa untuk kesehatannya agar tetap pulih. Kami tinggal di pemondokan tidak jauh dari rumah sakit tersebut, hanya 5 menit seperjalanan kaki jauhnya.

Keesokan harinya kami dipanggil oleh dokter, dia mengatakan bahwa yang tengah terjadi pada ayahku adalah viral hemorrhagic fever atau perdarahan pada organ bagian dalam yang dikarenakan oleh virus biasanya terjadi pada kasus demam berdarah akut.

Kondisinya akan terus memburuk dan dengan terbuka dia mengatakan bahwa secara medis harapan ayahku sudah habis, dan hanya mujizat lah yang dapat menyembuhkannya.

Organ tubuhnya satu persatu mulai kehilangan fungsinya, dan harapan kami hanya mujizat Tuhan itu.

Seperti sahabat sahabat Yesus (Martha dan Maria) menyuruh orang untuk menyampaikan kabar pada Yesus tentang sakit yang diderita Lazarus, demikianlah kami memanggil nama Yesus untuk datang dan menolong ayah kami dari penyakit yang dideritanya hari itu. (Yohanes 11:3)

Ayahku seorang missionaris, pendeta, dan juga seorang guru yang telah mengabdi lebih dari 35 tahun untuk pekerjaan pelayanan, hatiku berdoa ya Tuhan yang telah dilayani oleh ayahku, sudi kiranya Engkau menjawab kami at the time my father needed You the most please be with him.

Keesokan harinya pagi pagi telephone berdering dan itu adalah panggilan dari rumah sakit, ada sedikit rasa ngeri ketika menjawab panggilan tersebut, memang beritanya adalah tolong segera datang ke rumah sakit karena ayah sedang menghadapi his final moments.

Kami bergegas untuk pergi ke rumah sakit dan setibanya disana memang kami mendapati ayah semakin lemah, namun masih bisa berkomunikasi walau hanya sebatas anggukan dan gerakan kecil pada jemarinya yang tergenggam oleh tangan ibuku.

Kata kata ibuku yang tidak pernah akan aku lupakan saat itu adalah "Daddy, beristirahatlah, mama dan anak-anak akan baik-baik saja, sebentar lagi Tuhan Yesus akan datang, dan kita semua akan dipertemukan kembali dalam sukacita besar." (1 Tesalonika 4:16-17)

Aku kaget dengan kata2 ibuku itu, bagi kebanyakan orang Indonesia itu adalah sesuatu yang pantang diucapkan karena seolah2 mendoakan orang yang masih hidup untuk segera meninggal, bukannya malah berdoa untuk kesembuhannya, namun juga aku menyadari satu hal bahwa adalah menyenangkan apabila tertidur dalam suasana yang tenang dan menyenangkan hati. (Wahyu 14:13)

Ibu adalah orang terdekat dari ayah, lebih dekat daripada kami anak-anaknya, dia mengetahui kebutuhan ayah saat itu, dia ingin ayah pergi dengan tenang, dia ingin menyampaikan harapan bahwa kami akan baik-baik saja, dia ingin ayah ingat bahwa masih ada Yesus yang berkuasa jauh melampaui bahkan maut sekalipun tidak dapat memisahkan kita dari kasihNya. (Roma 8:35-39)

to be continued 



No comments:

Post a Comment